Rancangan Perpres Terorisme Merusak Integritas Hukum

Foto: Hendardi /SM/istimewa

YOGYAKARTA, SM Network – Rancangan Peraturan Presiden (RPerpres) tentang Tugas TNI dalam Mengatasi Aksi Terorisme, telah dikirim Menteri Hukum dan HAM Yasonna H Laoly ke DPR RI untuk memperoleh persetujuan, beberapa hari lalu. Rancangan itu pada intinya menyebutkan tugas TNI dalam mengatasi aksi terorisme merupakan bagian dari operasi militer selain perang, yang detailnya kemudian didelegasikan untuk diatur dalam Perpres.

Ketua SETARA Institute, Hendardi mengungkapkan seharusnya yang disusun pemerintah adalah kriteria dan skala ancaman, jenis-jenis terorisme, teritori tindak pidana terorisme, prosedur-prosedur pelibatan, termasuk mekanisme perbantuan terhadap Polri, dan akuntabilitas pelibatan TNI dalam penanganan aksi terorisme.

”Nah, dalam rancangan tidak ada mekanisme tanggung gugat atas anggota TNI ketika melakukan tindak yang melanggar hukum. Karena itu rancangan yang disusun adalah baseless alias tidakmemiliki dasar hukum, bahkan merusak integritas hukum,” tandas Hendari dalam siaran persnya kepada Suara Merdeka, kemarin.

Ia menilai Rancangan Perpres yang disusun pemerintah justru mengukuhkan peran TNI secara permanen dengan memberi tugas TNI memberantas terorisme secara berkelanjutan dari hulu ke hilir, di luar kerangka criminal justice system, dengan pendekatan operasi teritorial. Bahkan memberikan justifikasi pada penggunaan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) yang merupakan dana penyelenggaraan otonomi daerah. Draft Perpres juga mengikis kewenangan konsultatif DPR dan kewenangan Presiden untuk mengeluarkan Keputusan Presiden terkait pelibatan TNI dalam operasi militer selain perang.

Mengancam Konstitusi

Menurut Hendardi, cara penyelundupan hukum yang diadopsi dalam RPerpres mengancam supremasi konstitusi, mengikis integritas hukum nasional dan mengancam kebebasan sipil warga. Rancangan juga berpotensi menyabotase tugas-tugas yang selama ini dijalankan Badan Nasional Penanggulangan Teroris (BNPT) yang merupakan leading sector dalam pencegahan dan pemulihan atau deradikalisasi.
”Rancangan Perpres itu juga merusak pemberantasan terorisme dalam kerangka sistem peradilan pidana, yang selama ini dijalankan oleh Polri,” tegasnya.

Sebagai gambaran, ia mencontohkan, salah satu tugas TNI dalam RPerpres tersebut yakni pelaksanaan operasi teritorial dalam rangka penangkalan, sebagaimana diatur pada Pasal 4 ayat (2) berupa pembinaan ketahanan wilayah, bantuan kemanusiaan dan bantuan sosial fisik/non fisik, serta komunikasi sosial. Selain tidak dikenal istilah penangkalan, rumusan operasi teritorial menjadi ancaman baru bagi kebebasan sipil warga. Rumusan model ini hanya menggambarkan kehendak memupuk anggaran dan mengokohkan kembali supremasi militer dalam kehidupan sipil.

”Atas dasar itu, DPR dan Presiden Jokowi harus menolak RPerpres apalagi dibahas di tengah Pandemi Covid-19, yang nyaris mempersempit ruang komunikasi publik dan komunikasi politik yang sehat. Memaksa mengesahkan RPerpres dengan rumusan sebagaimana draft yang beredar, DPR dan Presiden Jokowi dapat dikualifikasi melanggar UU dan melanggar Konstitusi,” imbuhnya.


Agung PW

Pos terkait

Tinggalkan Balasan