MEMASUKI kompleks Pondok Pesantren (Ponpes) Al Iman, suasana pedesaan yang tenang dan asri begitu terasa. Ponpes ini berada cukup jauh, berjarak sekitar 3 kilometer, dari hiruk-pikuk pusat kota Kabupaten Purworejo, tepatnya di Desa Bulus, Kecamatan Gebang.
Namun dengan letaknya yang relatif masuk ke pelosok, justru menjadi daya dukung dalam proses pembelajaran karena suasananya yang tenang. Selain itu, juga menjadi keuntungan tersendiri bagi Ponpes Al Iman Bulus saat menghadapi pandemi virus corona (Covid-19) seperti saat ini.
“Suasananya masih seperti ini, agak-agak alas (hutan). Di satu sisi kita memang di tengah alas, tapi di sisi lain keuntungan tersendiri. Dengan ada di pelosok kita bisa lockdown mandiri. Yang keluar tidak boleh masuk, kalau masuk harus dengan prosedur yang ketat. Yang di dalam tidak usah keluar, kan aman,” ungkap Wakil Lurah Ponpes Al Iman Bulus, Wahid Anwar kepada Suara Merdeka.
Ponpes yang kini diasuh oleh KH Hasan Agil Ba’abud ini memiliki sejarah panjang. Wahid menuturkan, berdasarkan piagam pendirian, Ponpes ini didirikan pada tahun 1828 oleh Mbah Ahmad Ngalim seorang ghuroba’ atau pengembara yang konon termasuk murid Sunan Gersik.
Mbah Ahmad Ngalim datang ke wilayah yang kemudian disebut Desa Bulus ini karena dibuang oleh penjajah Belanda. Ketika itu, beliau membuka wilayah tersebut yang masih berupa hutan kemudian membangun masjid, pesantren, dan sumber air.
Setelah Mbah Ahmad Ngalim wafat pada tahun 1842, para murid banyak yang kembali ke daerah asalnya masing-masing, sedangkan putera-puteranya mendirikan pesantren sendiri antara lain di Maron. Oleh karena itu, pesantren sempat mengalami kekosongan selama sekitar tiga tahun.
Kemudian, pesantren dihidupkan kembali oleh Sayyid Ali, salah satu menantu Mbah Ahmad Ngalim, yang diberi amanah tanah pesantren. Setelah Sayyid Ali wafat, kepemimpinan pesantren kemudian dilanjutkan puteranya, Sayyid Muhammad, dan selanjutnya diteruskan kepada puteranya, Sayyid Dahlan.
“Waktu Sayyid Dahlan memimpin, pondok ini namanya Al Islamiyah, mengajarkan sistem menulis Arab di papan tulis yang waktu itu masih jadi perdebatan karena masih menjadi hal baru waktu itu,” tutur Wahid Anwar didampingi salah satu pengurus ponpes, Ahmad Fauha Fawaqih.
Sekitar tahun 1938, Masjid Jami’ Purworejo mengalami kekosongan imam, sehingga Sayyid Dahlan diminta menjadi imam dan pindah ke Kauman. Pesantren pun kemudian kembali mengalami kekosongan bahkan berlangsung sekitar 20 tahun.
Kemudian, pada tahun 1955 pesantren di Bulus dihidupkan lagi oleh Sayyid Agil (ayah KH Hasan Agil Ba’abud), putra bungsu dari Sayyid Muhammad atau adik dari Sayyid Dahlan yang pindah ke Kauman. Oleh Sayyid Agil, nama pondok pesantren kemudian diubah menjadi Al Iman.
Wahid Anwar mengungkapkan, sejak dipimpin atau diasuh Sayyid Agil, pesantren juga dipadukan dengan pendidikan formal dengan mendirikan Madrasah Tsanawiyah (MTs) dan Madrasah Aliyah (MA). Setelah Sayyid Agil wafat pada 1987, Ponpes Al Iman Bulus dilanjutkan oleh KH Hasan Agil Ba’abud yang saat ini memimpin atau mengasuh.
Di bawah kepemimpinan KH Hasan Agil Ba’abud, jenjang pendidikan formal dilengkapi dengan mendirikan Raudhatul Athfal (RA), Madrasah Ibtidaiyah (MI), pendidikan tinggi Ma’had ‘Aly, serta tahasus. Saat ini Ponpes Al Iman Bulus memiliki santri lebih dari 2.500 putra putri.
“Kalau melihat awal adanya pesantren sampai hari ini, pesantren Al Iman (Bulus) tidak salah kalau disebut pesantren tertua di Jawa Tengah, yang masih eksis,” imbuh Wahid Anwar.
Panuju Triangga